Beranda | Artikel
Mengenal Tauhid [Bagian 44]
Senin, 5 Maret 2018

Bismillah.

Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, para sahabatnya, dan pengikut setia mereka. Amma ba’du.

Di dalam bab tafsir tauhid dan syahadat laa ilaha illallah ini penulis -Syaikh Muhammad at-tamimi rahimahullah– membawakan dalil firman Allah (yang artinya), “Mereka itu orang-orang yang diseru justru mencari kepada Rabb mereka wasilah; siapakah diantara mereka yang lebih dekat dan mereka pun mengharapkan rahmat-Nya dan merasa takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Rabbmu adalah suatu hal yang harus dihindari.” (al-Israa’ : 57)

Ibnu ‘Abbas dan Mujahid menafsirkan, bahwa yang dimaksud ‘yang diseru selain Allah’ di dalam ayat ini adalah: ‘Isa, ibunya [Maryam], ‘Uzair, malaikat, matahari dan bulan serta bintang-bintang. Mereka semua mencari kedekatan diri atau kedudukan yang mulia di sisi Allah. Adapun Ibnu Mas’ud menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kejadian yang menimpa orang musyrikin arab masa silam yang menyembah kepada jin, kemudian ternyata jin yang mereka sembah masuk Islam sedangkan mereka tidak mengetahuinya. Sementara mereka terus bertahan di atas kesyirikannya. Maka Allah pun mencela perbuatan mereka dengan turunnya ayat ini (lihat Ma’alim at-Tanzil, hlm. 746 karya Imam al-Baghawi rahimahullah)  

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau menerangkan tafsir dari firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Mereka itu -sosok- yang disembah -selain Allah- justru berusaha mencari kedekatan diri di sisi Rabb mereka, siapakah di antara mereka yang lebih dekat -kepada-Nya-.” (al-Israa’: 57). Beliau berkata, “Dahulu sekelompok bangsa jin masuk Islam, sedangkan sebelum itu mereka dipuja-puja (disembah) -oleh manusia-. Kemudian orang-orang yang dahulu menyembah mereka tetap bertahan untuk menyembah mereka, padahal sekelompok jin -yang disembah itu- telah masuk Islam.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa segala sesembahan yang dipuja oleh kaum musyrikin apakah itu malaikat, para nabi atau wali adalah makhluk yang membutuhkan Allah. Mereka berusaha untuk mencari wasilah; yaitu melakukan amal yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah. Mereka mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya. Apabila keadaan mereka seperti itu maka hal itu menunjukkan bahwa mereka adalah hamba alias tidak pantas untuk disembah. Lantas bagaimana mungkin mereka justru dijadikan tujuan doa dan sesembahan tandingan bagi Allah. Padahal mereka sibuk dengan urusannya sendiri dengan berdoa kepada Allah dan mencari kedekatan diri dengan Allah dengan beribadah kepada-Nya (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 62)

Ayat itu menunjukkan bahwasanya makna tauhid dan syahadat laa ilaha illallah adalah meninggalkan kebiasaan kaum musyrikin berupa menujukan doa kepada orang-orang salih dan meminta syafa’at kepada mereka untuk menyampaikan kebutuhannya kepada Allah dalam rangka menyingkap marabahaya atau menyingkirkannya, karena perbuatan semacam itu -berdoa kepada selain Allah- adalah termasuk syirik akbar (lihat al-Mulakhash, hlm. 62)

Tidak Boleh Berdoa kepada Selain Allah

Semua makhluk penduduk langit maupun bumi adalah hamba Allah. Oleh sebab itu mereka tidak boleh dijadikan sebagai sesembahan. Makna ‘wasilah’ di dalam ayat tersebut adalah ketaatan dan ibadah, bukan sebagaimana yang diyakini oleh para pemuja kubur dan penyebar khurafat bahwa maknanya adalah hendaknya anda mencari seseorang yang menjadi perantara antara anda dengan Allah untuk menyampaikan kebutuhan-kebutuhan anda kepada-Nya. Ini adalah pemahaman yang keliru terhadap maksud ayat tersebut (lihat I’anatul Mustafid, 1/172)

Dengan demikian ayat tersebut memberikan faidah kepada kita bahwa salah satu makna laa ilaha illallah adalah tidak boleh berdoa kepada selain Allah dan tidak mengangkat perantara untuk dimintai atau diibadahi dengan alasan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah atau memberi syafa’at di sisi-Nya. Barangsiapa yang mengangkat perantara/sesembahan antara dirinya dengan Allah sesungguhnya dia telah merusak kandungan kalimat laa ilaha illallah. Doa, taqarrub, dan ibadah tidak boleh ditujukan kecuali kepada Allah (lihat I’anatul Mustafid, 1/174)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Itulah Rabb kalian, bagi-Nya seluruh kerajaan. Adapun segala sesuatu yang kalian seru/sembah selain-Nya sama sekali tidak menguasai apa-apa walaupun hanya setipis kulit ari. Apabila kalian menyeru mereka maka mereka tidak mendengar seruan/doa kalian. Seandainya mereka bisa mendengar maka mereka tidak bisa memenuhi permintaan kalian. Dan pada hari kiamat nanti mereka akan mengingkari perbuatan syirik kalian. Dan tidak ada yang bisa memberitakan kepadamu seperti Dzat yang maha teliti.” (Fathir : 13-14)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah maka janganlah kalian berdoa kepada siapapun bersama -doa kalian kepada- Allah.” (al-Jin: 18).

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Allah tidak ridha dipersekutukan bersama-Nya dalam hal ibadah dengan siapa pun juga. Tidak malaikat yang dekat ataupun nabi yang diutus. Tidak juga wali diantara para wali Allah. Dan tidak juga selain mereka. Ibadah adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala. Adapun para wali dan orang-orang salih, bahkan para rasul dan malaikat sekali pun maka tidak boleh menujukan ibadah kepada mereka dan tidak boleh berdoa kepada mereka sebagai sekutu bagi Allah ‘azza wa jalla. Perkara yang semestinya dan wajib bagi kita adalah mencintai orang-orang salih dan mengikuti keteladanan mereka serta mengikuti jalan mereka. Adapun ibadah, maka itu adalah hak Allah subhanahu wa ta’ala semata….” (lihat at-Tauhid, Ya ‘Ibadallah, hlm. 25-26)

Berdoa kepada selain Allah bahkan termasuk perbuatan kekafiran yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berdoa kepada sesembahan lain disamping doanya kepada Allah yang itu jelas tidak ada keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisabnya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (al-Mukminun: 117)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang manusia yang diberikan Allah kepadanya al-Kitab, hukum dan kenabian lantas berkata kepada manusia: Jadilah kalian sebagai pemuja diriku sebagai tandingan untuk Allah. Akan tetapi jadilah kalian rabbani dengan sebab apa yang kalian ajarkan berupa al-Kitab dan apa yang kalian pelajari. Dan tidaklah dia memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan nabi-nabi sebagai sesembahan. Apakah dia hendak memerintahkan kalian kafir setelah kalian memeluk Islam?” (Ali ‘Imran: 79-80)

Ibnu Juraij dan sekelompok ulama tafsir yang lain menjelaskan, bahwa maksud dari ayat ini adalah, “Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam– tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan Shabi’in yang berkeyakinan bahwa malaikat adalah putri-putri Allah. Tidak juga sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani yang berkeyakinan tentang ‘Isa al-Masih dan ‘Uzair seperti apa yang mereka ucapkan [bahwa mereka adalah anak Allah, pent].” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hlm. 220 oleh Imam al-Baghawi rahimahullah)

Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Lalu Allah berfirman (yang artinya), “Dan dia tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan” yaitu dia tidak memerintahkan kalian beribadah kepada siapapun selain Allah, baik kepada nabi yang diutus ataupun malaikat yang dekat -dengan Allah-. “Apakah dia akan memerintahkan kalian kepada kekafiran setelah kalian memeluk Islam?”. Artinya dia [rasul] tidak melakukan hal itu. Karena barangsiapa yang mengajak kepada peribadatan kepada selain Allah maka dia telah mengajak kepada kekafiran. Padahal para nabi hanyalah memerintahkan kepada keimanan; yaitu beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (al-Anbiya’: 25) dst.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [2/67] karya Imam Ibnu Katsir)  

Allah berfirman (yang artinya), “Dan mereka beribadah kepada selain Allah sesuatu yang jelas tidak mendatangkan mudharat kepada mereka dan tidak pula mendatangkan manfaat. Dan mereka mengatakan, ‘Mereka itu adalah pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah’.” (Yunus : 18)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata dalam tafsirnya (4/256), “Allah ta’ala mengingkari kaum musyrikin yang beribadah kepada sesembahan selain Allah yang mereka mengira bahwa sesembahan-sesembahan itu bisa memberikan manfaat bagi mereka dalam bentuk pemberian syafa’at di sisi Allah. Maka Allah ta’ala mengabarkan bahwa sesembahan-sesembahan itu tidak menguasai manfaat, mudharat, dan tidak menguasai apa-apa, tidak akan terjadi apa yang mereka sangka akan mendapatkannya, dan hal ini selamanya tidak akan terjadi. Oleh sebab itu Allah berkata (yang artinya), “Katakanlah; Apakah kalian hendak memberitakan kepada Allah mengenai sesuatu yang tidak diketahui oleh-Nya, di langit dan di bumi.” (Yunus : 18)”

Yang menyedihkan adalah ternyata alasan semacam ini pula yang dibawakan oleh para penyembah kubur pada masa ini. Mereka beralasan bahwa wali atau orang salih yang mereka puja-puja adalah perantara bagi mereka untuk memberikan syafa’at di sisi Allah. Mereka beralasan karena para wali itu lebih dekat dengan Allah daripada mereka. Mayoritas kaum jahiliyah di masa lalu pun berkeyakinan bahwa sesembahan mereka menjadi perantara bagi mereka di sisi Allah, dan mereka beribadah/berdoa kepadanya dengan alasan untuk memberikan syafa’at bagi mereka di sisi Allah. Ini adalah keyakinan batil karena termasuk kedustaan atas nama Allah dan tidak ada seorang nabi pun yang memerintahkannya. Bahkan apa yang mereka lakukan ini termasuk perbuatan beribadah kepada selain Allah dan kemusyrikan (lihat asy-Syarh al-Mujaz ‘ala al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Raslan, hal. 19-20 dan I’anatul Mustafid oleh Syaikh al-Fauzan, 1/326)

Syafa’at adalah milik Allah, bukan milik para malaikat, nabi atau wali. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: Milik Allah semua syafa’at itu.” (az-Zumar: 44). Oleh sebab itu tidak boleh meminta syafa’at kecuali kepada Allah. Tidak ada yang bisa memberikan syafa’at kecuali dengan izin Allah, karena syafa’at adalah milik-Nya. Bahkan, berdoa kepada para wali (baca: sesembahan selain Allah) demi mendapatkan syafa’at dan mendekatkan diri kepada Allah itulah sebab mengapa Allah mengkafirkan orang-orang musyrik zaman dahulu (lihat penjelasan Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Kitab Kasyfu asy-Syubuhat, hlm. 79-80)

Kesesatan Paling Parah

Firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdoa kepada selain Allah sesuatu yang tidak bisa menjawab permintaannya sampai hari kiamat, dan mereka itu pun lalai dari doa yang ditujukan kepadanya. Dan apabila umat manusia kelak dibangkitkan maka mereka itu justru menjadi musuh bagi penyembahnya. Dan mereka pun mengingkari ibadah yang dilakukan oleh para pemujanya.” (al-Ahqaf : 5-6)

Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdoa/beribadah kepada selain Allah (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hlm. 52)

Ayat yang agung ini berlaku umum bagi segala bentuk sesembahan selain Allah. Baik yang disembah atau dimintai itu sudah mati atau orang yang tidak bisa dihubungi (ghaib), atau orang itu tidak mungkin mampu memenuhi permintaan yang ditujukan kepadanya. Entah itu berupa thaghut yang hidup, maupun berhala yang dipuja-puja. Selain itu, ayat ini juga mencakup setiap orang yang berdoa/beribadah kepada selain Allah. Hasil yang akan dicapai oleh setiap orang yang beribadah kepada selain Allah -apapun bentuknya- adalah kerugian semata. Sesembahan yang mereka puja-puja di dunia akan berubah menjadi musuh mereka kelak di akhirat (lihat Fath al-Majid, hlm. 167). 

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan (ingatlah) suatu hari (ketika) Allah menghimpunkan mereka beserta apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Allah berkata (kepada yang disembah), ‘Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu, atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?’. Mereka (yang disembah itu) menjawab, ‘Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagi kami mengambil selain Engkau (untuk menjadi) pelindung. Akan tetapi Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup sampai mereka lupa mengingati (Engkau), dan mereka adalah kaum yang binasa.’.” (al-Furqan: 17-18)

Mereka itu, yaitu orang-orang yang tenggelam di dalam kemusyrikan, ternyata terjerumus ke dalamnya akibat tidak pandai mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Allah limpahkan kepada mereka berbagai kenikmatan dunia, namun mereka lalai dari mensyukurinya. Mereka terbuai oleh hawa nafsunya dan terlena dengan kesenangan-kesenangan dunia. Mereka berupaya keras memelihara kesenangan dunianya dan justru menyia-nyiakan agamanya. Inilah penyebab mereka bergelimang dengan kemusyrikan, yaitu bersenang-senang dengan kenikmatan dunia -tanpa mengindahkan syari’at, pent- sehingga memalingkan mereka dari hidayah (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hlm. 631 karya Syaikh as-Sa’di rahimahullah

Pada hari kiamat nanti, tidak ada yang diperoleh orang-orang musyrik selain kebalikan dari apa yang mereka harapkan. Sesembahan mereka akan berlepas diri dan tidak mau ikut bertanggung-jawab atas ibadah yang ditujukan kepadanya. Sesembahan mereka akan mengingkari perbuatan itu dengan sekeras-kerasnya (lihat Fath al-Majid, hlm. 167). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan (ingatlah) suatu hari ketika itu Kami mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Kami berkata kepada orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), ‘Tetaplah kamu dan sekutu-sekutumu di tempat itu.’ Lalu Kami pisahkan mereka dan berkatalah sekutu-sekutu mereka, ‘Kamu sekali-kali tidak pernah menyembah kami. Dan cukuplah Allah menjadi saksi antara kami dengan kamu, bahwa kami tidak tahu-menahu tentang penyembahan kamu (kepada kami).” (Yunus: 28-29)

Keutamaan Berdoa kepada Allah

Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian berkata; Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir : 60)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada suatu perkara yang lebih mulia bagi Allah ta’ala daripada doa.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3370)

Dari an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa adalah hakikat dari ibadah.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3372)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meminta kepada Allah maka Allah akan murka kepadanya.” (HR. Tirmidzi, dan dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3373)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang ingin dikabulkan doanya ketika dalam keadaan sempit dan susah hendaklah dia memperbanyak doa ketika dalam keadaan lapang.” (HR. Tirmidzi, dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam Sahih Sunan Tirmidzi no. 3382)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah berkata : Aku mengikuti persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku akan senantiasa bersama-Nya selama dia berdoa kepada-Ku.” (HR. Muslim no. 2675)

Demikian sedikit catatan yang bisa disajikan, semoga bermanfaat. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

# Penyusun : www.al-mubarok.com


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mengenal-tauhid-bagian-44/